Semoga Allah Mengumpulkanmu bersama Khadijah *

Suatu hari, ada seseorang memberi komentar pada blog saya. Komentar biasa saja, menanyakan sesuatu mengenai artikel yang saya tulis. Beberapa hari kemudian, ia mengirimkan komentar lagi. Tapi kali ini saya rasakan ada yang sedikit berbeda. Bagian akhir dari komentar itu rasa-rasanya agak privat. Akhirnya saya hilangkan bagian akhir tersebut, dan komentar pun saya publish.

Beberapa hari kemudian, dia mengirimkan sebuah email kepada saya. Dalam emailnya itu, dia memperkenalkan dirinya, singkat. Dia seorang akhwat, masih belia, tinggal di Serambi Mekah (Anda pasti tahu dimana itu: ujung barat negeri ini). Akhwat – atau ukht – adalah satu kata dalam bahasa Arab, maknanya saudara perempuan. Tapi sekarang akhwat lebih sering dipakai dengan makna khusus: gadis muslimah yang belum menikah, dan aktif dalam pengajian rutin pekanan.

Dia punya username email yang sangat bagus, dalam bahasa Arab. Feminin, tapi bernuansa dunia pergerakan yang militan. Sedangkan nama panggilan yang dicantumkan di emailnya juga dalam bahasa Arab, tapi mengandung unsur daerah, khas Serambi Mekah. Saya menduga, nama panggilan itu adalah nama dia yang sebenarnya. Tapi saya nggak tahu pasti, karena saya memang tidak pernah menanyakannya.

Tidak berselang lama ia kembali mengirimkan sebuah email kepadaku. Dalam email itu, ia bilang bahwa ia ’mengagumi’ aku. Aku sedikit heran, apa sih yang bisa dikagumi dari seorang ikhwan seperti aku.

———————————————

Beberapa saat sesudah itu, tepatnya pada Nopember 2009, saya pergi ke Yaman untuk melakukan studi singkat tentang satu masalah, selama kurang lebih tiga bulan.

Ketika saya sedang berada di Yaman, ia kembali berkirim email. ”Afwan jika tidak sopan dan tidak etis,” tulisnya membuka isi email tersebut. Lalu ia bertanya, ”Akhi, apa antum sudah menikah?” Glodak! Pertanyaan ini memang biasa, tapi saya tahu bahwa ada maksud tertentu dibalik pertanyaan seperti ini. Dan belakangan saya tahu bahwa maksud tertentu itu memang benar ada.

Saya merasa agak kaget mendapati pertanyaan itu. Terbayang dalam pikiranku, ini bisa menjadi serius. Saya sebetulnya sangat tidak biasa dengan yang seperti ini. Seumur-umur saya tidak pernah pacaran, meski hanya saling berkirim surat cinta, sms mesra, email mesra, dan semacamnya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena saya sudah bertekad untuk tidak melakukannya. Takut dosa. Karena itu, pada saat mendapati pertanyaan itu, saya merasa agak takut dan khawatir jika lambat laun tergiring pada komunikasi yang ’terlalu jauh’.

Saya juga merasa bahwa Serambi Mekah bukanlah tempat yang dekat dari Surabaya, tempat saya tinggal. Saya ragu apakah menikah dengan akhwat dari sana akan bisa berlangsung mudah. Dengan beberapa pertimbangan itu, saya pun menjawab pertanyaannya: “Ukhti, sekarang saya sedang berada di Yaman. Insyaallah paling cepat dua bulan lagi saya akan kembali ke Indonesia. Rencana saya, begitu kembali ke Indonesia, saya ingin segera menikah. Yassarallahu lana umuurana, wa lakum umuurakum. Amin.” Jawaban saya ini sebetulnya agak aneh. Lha wong saya belum ada calon, kok berani-beraninya menjawab seperti itu. Tapi, keinginan untuk menikah dalam waktu dekat memang ada. Cuma ya itu tadi, belum ada calon yang definitif.

Entah apa yang ia pahami dari jawaban saya. Hanya saja, dua hari kemudian ia membalas: ”Semoga Alloh memudahkan rencana akhi untuk menikah. Semoga Allah mempertemukan akhi dengan akhwat terbaik. Barokallohu lak.”

Saya bisa menangkap makna yang tersirat dari jawabannya itu. Dugaan kuat saya, ia pasti memahami bahwa saya sudah ada calon, dan akan menikah dalam waktu dekat. Dan belakangan saya tahu bahwa dia memang memahaminya seperti itu.

Sehabis itu, dia tidak pernah lagi berkirim apapun kepada saya. Saya jadi paham bahwa dia benar-benar akhwat yang serius. Tidak lagi macam-macam begitu ia memahami bahwa tidak ada prospek untuk sesuatu yang lebih jauh (baca: menikah). Saya salut.

———————————————

Pada akhir Januari 2009, saya kembali lagi ke tanah air. Setelah beberapa lama kembali beraktivitas, pada bulan Maret 2009, salah seorang ustadz saya mengingatkan saya untuk segera menikah. Akhirnya, saat itu pula saya menulis proposal pernikahan saya.

Tapi sampai menginjak bulan Agustus 2009, Allah belum mempertemukan saya dengan jodoh saya. Ini berarti sudah enam bulan saya mencari, tapi belum dapat juga.

Tiba-tiba pada suatu hari, ketika saya sedang online di akun Yahoo saya, sebuah permintaan chat muncul. Tertulis disitu, dari akhwat yang dari Serambi Mekah itu. Saya masih bisa mengingatnya dengan baik. Tidak ada alasan untuk menolak permintaan chat itu. Dan, permintaan chat pun saya accept.

”Kaifa haluka ya akhi? Masih ingat saya?” tulisnya.

”Baik, alhamdulillah. Tentu saja masih ingat,” jawabku singkat.

”Gimana akhi pernikahan antum?” tanyanya to the point.

“Ana sudah berusaha semenjak Maret, sampai sekarang masih proses tapi kandas terus. Belum menemukan yang cocok,” jawabku mencoba untuk menjelaskan dengan singkat.

Habis itu dia menceritakan bagaimana dulu dia sempat ’mengagumi’ saya, dan merasa bahwa saya adalah ikhwan yang dia idam-idamkan, tapi kemudian dia memutuskan untuk ’mundur’ setelah saya menjawab bahwa saya akan segera menikah dalam waktu dekat.

Dia juga menceritakan bahwa ketika saya sedang berada di Yaman, dia bahkan sempat menghubungi salah seorang temannya yang ada disana. Dia tidak bilang untuk apa dia menghubungi temannya itu. Tapi saya menerka bahwa ketika itu dia berusaha keras untuk bisa menyampaikan maksudnya dengan lebih jelas kepada saya. Itu terkaan saya, nggak tahu benar apa tidak.

”Tapi ternyata antum bukan jodoh saya,” ungkapnya, membuat suasana jadi berbeda.

”Dua bulan setelah saat itu…,” dia menulis tapi kemudian berhenti sejenak, ”seorang laki-laki melamar saya.”

”Oh, alhamdulillah. Senang mendengarnya,” tukasku secara spontan.

”Tapi tenyata laki-laki itu jauh dari yang saya idam-idamkan. Dia masih sangat awam dengan agama,” jelasnya.

Sampai disini saya menduga bahwa dia akhirnya menolak laki-laki itu.

”Memangnya, ikhwan yang kayak gimana sih yang anti idam-idamkan?” tanyaku ingin tahu.

”Ikhwan sejati, yang bisa menjadi imam dalam keluarga,” jawabnya singkat tapi saya rasa sangat padat dan dalam maknanya.

”Yang ana utamakan dari seorang ikhwan adalah agama dan akhlaqnya,” urainya menjelaskan. Saya salut kepadanya. Betapa hebatnya dia, tidak memandang seorang ikhwan dari hartanya, rupanya, dan hal-hal material lainnya. Saya jadi malu dengan diri saya, yang merasa masih sulit untuk melepaskan diri dari pandangan yang bersifat ragawi terhadap seorang akhwat. Jangan-jangan, saya tidak berjodoh dengan dia karena dia jauh lebih baik daripada saya. Apakah demikian? Saya tidak tahu.

”Saya tahu, ikhwan yang subhanallah seperti antum pasti menginginkan seorang akhwat yang cantik luar dalam,” lanjutnya, kini berbicara tentang saya. Saya sebetulnya agak malu dengan ungkapannya ’ikhwan yang subhanallah seperti antum’. Memangnya saya ini ikhwan yang punya kelebihan apa? Saya hanyalah ikhwan yang biasa saja, pikirku. Tapi soal ’akhwat yang cantik luar dalam’ kayaknya dia benar one hundred percent. Wah, saya ini pingin enaknya saja ya. Ikhwan biasa saja, tapi ingin akhwat yang cantik luar dalam. Anda pasti tahu apa itu ’cantik luar dalam’. Cantik luar itu ya ’kinclong’, dan cantik dalam itu ’shalihah’. Pokoknya, akhwat yang kayak gitu mah bener-bener akhwat te-o-pe be-ge-te.

”Afwan, ukhti. Kalau sebagian besar akhwat gimana? Apa juga memandang ikhwan hanya dari agama dan akhlaqnya? Atau yang seperti itu hanya anti saja – seorang akhwat yang subhanallah,” tulisku bertanya. Saya memang sekalian ingin bertanya tentang hal ini, karena selama ini saya belum pernah tahu apa yang sebenarnya dicari oleh para akhwat. Dan kali ini giliran saya memujinya, bukan untuk basa-basi, tapi karena saya memang betul-betul terkesan dengan pandangannya mengenai ikhwan idaman. Dan saya rasa itu cukup bagi saya untuk menyebutnya sebagai akhwat yang subhanallah.

————————————————-

Sesudah itu, dia meneruskan cerita tentang dirinya. Dia menulis,”Lalu aku melakukan istikharah.” Aku jadi kaget dengan kalimat ini. Muncul rasa penasaran yang sedemikian besar. Entah kenapa, pada titik ini perasaanku tiba-tiba berubah. Mendadak muncul perasaan tidak ingin kehilangan.

”Lalu hasilnya,” kuketikkan kalimat ini dengan cepat dan segera muncul di papan chat. Tapi belum juga ada jawaban.

”????,” ketikku meminta jawabannya segera.

”Lalu hasilnya apa, ukhti,” tanyaku lagi dengan penuh penasaran.

”????,” kekutikkan lagi rentetan tanda tanya karena tidak sabar mendengar jawabannya.

”Entah kenapa, tiba-tiba ana merasa mantap. Dan akhirnya, kuterima lamarannya. Kini sudah beberapa bulan pernikahan kami berjalan,” jelasnya. Entah kenapa, perasaanku jadi bercampur baur antara gembira, salut, simpati, kehilangan, dan lain-lain. Terlintas dalam benak saya rasa malu. Bagaimana dia bisa berhasil dengan istikharahnya, sementara saya belum juga mendapatkan kemantapan sesudah sekian istikharah yang selama ini kulakukan. Saya salut kepadanya. Dia begitu tawakkal kepada Allah, dan menyerahkan semua urusannya dalam sebuah sujud istikharah.

”Pemahaman agamanya masih awam, tidak juga rupawan, tapi di lingkungan sekitarnya dia dikenal sebagai orang yang suka menolong,” jelasnya mencoba untuk memberikan gambaran tentang suaminya.

”Semoga Allah memberkati pernikahan anti,” doaku untuknya.

”Akhi, kini ana mencoba untuk memahami semua yang terjadi. Semoga Allah mempertemukan kita di Surga,” tulisnya dengan begitu bijak. Saya sangat terharu. Dia benar-benar tulus.

Saya seketika bertanya kepada diriku sendiri. Dia sangat mungkin masuk Surga dengan ketawakalannya yang tinggi kepada Allah, tapi bagaimana dengan aku. Bisakah dan pantaskah aku masuk Surga?

”Ukhti, dulu itu, waktu ana bilang bahwa ana akan segera menikah, sebetulnya juga belum ada calon yang definitif. Tapi ana memang berkeinginan untuk segera. Dan, ketika itu ana hanya merasa nggak biasa dan nggak enak dengan cara komunikasi seperti itu,” tulisku mencoba menjelaskan.

”Itu bagus, akhi. Tetaplah istiqamah menjaga kebersihan hati,” ungkapnya singkat. Saya jadi malu pada diri sendiri. Apakah hati saya selama ini benar-benar besih?

”Tapi apa yang dulu anti lakukan itu juga sama sekali tidak salah. Semoga Allah kelak mengumpulkan anti bersama ibu kita, Khadijah,” jelasku dengan jujur. Sudah sama-sama diketahui, ketika dahulu Khadijah tertarik untuk menikah dengan Rasulullah, beliau tidak sungkan-sungkan mengutarakan maksudnya tersebut kepada Rasulullah. Dan karena itulah Khadijah kemudian dijadikan model oleh para muslimah yang berinisiatif untuk tidak sungkan-sungkan mengutarakan maksudnya untuk menikah dengan seorang laki-laki muslim. Saya pikir, apa yang dilakukan oleh Khadijah benar-benar luar biasa. Dan karena itu, para akhwat yang berani mencontoh apa yang beliau lakukan juga luar biasa. Adapun anggapan bahwa akhwat yang melakukan hal itu kesannya kurang sopan, kurang etis, atau kurang tahu malu, saya rasa itu hanyalah bagian dari tradisi, yang sama sekali tidak ada landasannya dalam Islam.

”Akhi, apa antum mau coba akhwat-akhwat dari Serambi Mekah? Insyaallah disini banyak akhwat yang lebih dari ana,” tiba-tiba dia memberikan kejutan kepada saya. Ya Allah, dia kini hendak menawarkan seorang akhwat kepada saya? Betapa baiknya dia. Betapa tulusnya dia. Dan akhwat seperti apa yang lebih baik dari dia?

”Antum punya murobbi?” tulisnya lagi menghentikan renunganku. Murobbi adalah pembimbing pengajian pekanan. Dia menanyakan hal itu, tidak syak lagi, dengan maksud agar nanti murobbi si akhwat yang dia tawarkan bisa menghubungi murobbiku, untuk keperluan ’penawaran’. Ya Allah, serius sekali dia. Dan betapa tulusnya dia.

Tapi, saya tidak menjawab. Bukan karena hendak menolak, tapi karena tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin juga karena masih ’awang-awangen’ dengan jauhnya Serambi Mekah.

Ukhti, saya benar-benar bangga kepadamu. Jika engkau pernah ’kagum’ kepadaku, maka akupun benar-benar kagum kepadamu. Ketawakalanmu kepada Allah, kelapangan dadamu, ketulusanmu, semua itu telah mengajariku banyak hal. Aku benar-benar banyak belajar darimu. Semoga Allah memberkati pernikahan anti. Semoga Allah kelak mengumpulkan anti bersama ibu kita, Khadijah – radhiyallahu ’anha. Dan semoga Allah mengumpulkan kita semua, hamba-hamba-Nya yang tegar di jalan dakwah ini, di Surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan. Bersama-sama dengan para nabi, para rasul, para syuhada, para shiddiqin, dan orang-orang yang shalih.

Dan semoga Allah segera mengkaruniakan kepadaku seorang istri yang shalihah, yang bisa menemaniku untuk bersama-sama mengarungi samudera kehidupan yang fana ini, menuju kebahagiaan abadi di akhirat nanti. Amin ya Rabbal ’Alamin.

———————————————–

*) Ini cerpen, tapi bukan fiksi. Sebetulnya banyak hal yang mungkin jika saya tuliskan akan membuat cerita jadi lebih menarik. Tapi saya malu untuk menuliskannya. Cukuplah begini saja, dan semoga bisa ditarik hikmah dan pelajarannya.

4 Replies to “Semoga Allah Mengumpulkanmu bersama Khadijah *”

  1. Memang indah cinta karena Allah, saat ia tak terbalas kita akan ihklas, karena kita yakin bahwa janji Allah untuk hamba yg bergelar kekasihnya itu pasti… insyaAllah.
    Subhanallah aq syukuri nikmat terindahMu ya Allah.
    Jgn pernah cinta ini melebihi cintaku padaMu.
    Jgn pernah rindu ini melebihi rindunya aq untuk bersujud di sepertiga malam-MU….. Amiiiin.

  2. afwan, ana nemu blog antum dari google dgn kata kunci belajar berenang dibwh permukaan.. ternyata nemu cerita ini… semoga kalian senantiasa dalam lindunganNYA.. Barokallahu..

Tinggalkan komentar